Langit Bercerita
“MANUSIA RUMIT YANG MENYUKAI LANGIT”
Ia luas tanpa batas, tinggi tak terkira. Langit adalah keindahan yang sengaja diciptakan Tuhan untuk dinikmati oleh setiap manusia. Setiap malam tiba ia berhias bintang, juga kadang — kadang ditemani rembulan. Ketika sore datang, ia merah merona begitupun Ketika pagi menjemput.
Kufikir banyak orang yang menyukainya. Bahkan dengan senang hati memotret lalu mengabadikannya di sorotan Instagramnya atau sengaja di post pada medium — medium yang lain. Ada yang memposstingnya diiringi dengan lagu yang sesuai sebagai pemanis pun juga ada yang hanya disertai dengan quote — quote ala anak — anak indie.
Langit seringkali menjadi pemandangan yang begitu menenangkan. Menatapnya diam — diam, lalu seakan — akan sedang berdialog dengan pemilikNya bahwa di langit ada kelapangan yang sungguh luas. Memandangnya membuat kita menyadari banyak hal, bahwa segala yang ada di bawa langit ini adalah kecil dan tidak punya kuasa apa — apa tanpa Tuhan. Pada langit juga kita seringkali menitip banyak pesan, bahwa segala yang menjadi harap kelak akan mendapat ijabah dari Tuhan. Pada langit juga, seringkali kita menitip rindu. Pada malam — malam yang dingin juga sunyi, langit seringkali membuka diri dengan begitu luas.
Beberapa hari yang lalu, tanpa sengaja saat saya sedang asik meng-scroll Instagram. Terlewat satu quote. Isinya kurang lebih seperti ini “jika kamu menyukai langit, maka kamu juga harus bisa mencintai hujan dan badainya.” Sekilas ini terlihat biasa saja. Mungkin Sebagian orang memaknainya sebatas tentang hujan, angin kencang atau jenis badai yang lainnya. Tapi sekali lagi saya membacanya, mengulangnya. Tentu maknanya tidak hanya sekedar itu. Saya dan mungkin dari sekian banyak manusia di bumi ini yang menyukai langit tentu punya pemaknaannya sendiri. Begini, saya hendak memulai kisah ini dengan satu quote pula atau mungkin ini tidak bisa disebut sebagai quote tetapi kata — kata receh yang tiba — tiba saja berserakan di kepala tapi saya tuangkan dalam bentuk tulisan. Ini saya buat sendiri, saat sedang menikmati segelas teh hangat di lantai tiga pada suatu sore. Isinya begini, “langit adalah kelapangan sekaligus luka. Ia menjelma senja dan pagi yang indah. Tapi disaat yang lain, ia adalah mendung dan hujan yang deras.” Kalimat ini tentu tidak lahir begitu saja. Saya memandang langit sore itu, sembari menenangkan banyak kecamasan dalam dada. Sesekali pula mengusap — usap pahaku yang sakit.
Langit seringkali menjadi pengandaian. Ia Bagai anomali, satu sisi pada saat keindahannya begitu menenangkan. Manusia berlomba untuk menjadikannya sebagai representasi ketenangann dan kebahagiaannya. Akan tetapi, saat ia mendung, hujan deras. Manusia lalu menyebutnya sebagai kesedihan dan luka yang dalam. Langit bisa juga tiba — tiba menjadi rumit. Terik, mendung atau gelap adalah kepastian yang melahirkan banyak ketidakpastian dan pengandaian. Kenyataan yang banyak dianggap menjadi samar dan absurd. Yah begitulah langit. Untuk mencintainya, kita harus menerima segala kerumitannya. Saya menulisnya begitu, padahal sebenarnya tidak ada yang rumit. Kitalah manusia yang membuatnya menjadi rumit. Kita — manusia menyukainya dengan kerumitan — kerumitan yang ada di kepala. Manusia Rumit yang menyukai langit.
Saya sepakat dengan kalimat mencintai langit berarti juga harus mencinta hujan dan badainya. Konsep ini berlaku umum, tidak hanya antara Langit dan manusia bumi yang menyukainya. Tetapi semua yang mencinta. Bukankah memang cinta dasarnya adalah penerimaan ? Ia memberi kasih sayang tetapi dalam Bahasa yang lain, sebenarnya cinta itu adalah ruang penerimaan yang paling lapang. Mencintai berarti kesiapan menerima segala yang dicintainya. Itulah mengapa dalam agama, Tuhan disebut memiliki keterbukaan atas segala permintaan hambaNya. Sebab memang Tuhan Maha atas Kasih Sayang dan Cinta. Tapi bagi manusia Cinta tidak berdiri sendiri, ia adalah perjalanan menuju keterbukaan dan kemerdekaan. Dalam hal ini, ia adalah ruang saling mencintai tanpa intervensi apa — apa kecuali untuk saling memilki dan mendekap dalam kehangatan. Ia tidak bersifat transaksional. Tapi ia saling terikat dan penuh ketulusan.
Tapi cinta juga rumit, ia sulit ditebak. Seperti langit, di balik keluasannya, Cinta seringkali menjelma keberanian — keberanian. Tetapi disaat yang lain, ia juga acapkali adalah ketakutan — ketakutan. Tapi Kembali lagi, manusia bumi yang membuatnya rumit. Yah, definisi rumit yang paling kompleks adalah manusia. Ia acapkali menjadi begitu dewasa di hadapan cinta, tapi di sisi yang lain ia begitu kekanak — kanakan. Tahun 2021, saya pernah menulis kalimat ini “di hadapan cinta, kita seringkali menjadi seperti kanak — kanak. Menangis dan banyak ketakutan. Tetapi di saat yang sama, seringkali kita berlaku ke kanak — kanakan. Melakukan apa — apa tanpa banyak pertimbangan. Tapi jangan risau nona, cinta yang baik adalah ia yang bisa bertahan dan tetap saling memeluk meski nanti usia sudah usai.”
Yah begitulah. Sebenarnya kerumitan — kerumitan yang begitu komplesk di kepala kita adalah akumulasi dari segala cinta dan apa — apa yang kita inginkan tapi kita tidak punya cukup keberanian untuk melakukannya. Kita — manusia mengumpulkan banyak rasa sakit dan kesedihan, lalu akhirnya ia menjelma menjadi kerumitan yang begitu ramai mengisi ruang di kepala kita. Musim ini juga barangkali adalah musim mengagumi dalam diam. Katanya lebih baik mengagumi dalam diam, sebab dengan begitu kita tidak akan mendapatkan penolakan. Tapi setelah membaca tulisan ini, saya hendak mendoakan.
Semoga semuanya lekas sembuh dan berani.
Untuk semua manusia Rumit yang menyukai langit. Mari belajar menerima badainya. Untuk kamu juga yang mencintai dia, semoga lekas memiliki keberanian untuk juga mencintai segala kerumitan yang ia punya.
Dekap Hangat ! Langit.
Sorong, 22 Juli 2023